ngabudi tai
inilah yang kemudian aku rasakan dan bunda mengucapkannya: "Tuh, kan, jelema nu kitu mah ngadon ngabudi tai! Maneh bebelaan sapopoe, ti isuk nepi peuting ngurus nu kitu, nepi ka awak ruksak, tapi mana perhatianana ti ...... euweuh pan. Ngadon diperes weh tanaga, meusmeus nalangan heula jang ieu itu, mana penghargaanana tinu ngaran ...... teh. Euweuh penghargaanana pisan, teu ngahargaan ka maneh geningan, ngan meres tanaga weh hungkul. Mikir sugan mah maneh teh."
Maafkan aku bunda, aku kerap membangkang mengenai yang satu ini. benarlah kata-katamu, meski aku tak pernah sedikitpun bercerita mengenai suka-duka mengerjakan ini dan bersama-sama dengan ...... bekerja dalam kegiatan, meski aku tak pernah memuji dia di hadapanmu, terlebih menjelekkannya, tapi kau tahu segalanya yang menimpaku, meski aku tak berbicara sepatah katapun.
Memang hese ari sulit ati belah bayah mah, da ngaranna ge adat kakurung ku iga, jadi geus teu bisa dirubah.
Akhir-akhir ini banyak sekali yang kulewati, aku benar-benar dikhianati dan disakiti.
Ke mana perginya? Ketika kami-kami berjuang mempertahankan dan membangun, ketika itu pula seenaknya pergi dengan tanpa pertanggungjawaban sedikitpun.
Akulah akhirnya yang harus menanggung semua: MENGAIS-NGAIS TANAH KUTUKAN, MENGUNYAH BANGKAI DI PERADABAN.
Siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam cerita ini????
Semestinya bukan aku, sudah tentu.
Namun aku bersyukur, setidaknya aku tetap membuat bundaku bangga, dengan maju sebagai penanggung jawab (msekipun aku bukan penanggung jawab) namun aku tetap bertanggung jawab. Aku bangga, aku bangga membuat bundaku bangga karena memang bunda TIDAK MENGAJARKANKU UNTUK MENJADI SEORANG PECUNDANG, MENJADI SEORANG PENGECUT.
KONSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB adalah DARAH MERAHKU!!!!!
Tuesday, May 18, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment