Monday, October 25, 2010

tersedak



Perpasangan selalu ada, ketika Adam diciptakan, Hawa pun menyertainya. Namun toh selalu ada perpisahan ketika mereka terjegal di bukit, terpisah antara Safa dan Marwah.

Begitupun denganku. Menyulam jala emas di tanah kutukan, mengais-ngais bangkai di reruntuhan peradaban.

Aku ingin menjadi(MU). Menjadi diri(MU). Menentukan sekehendak dengan sesukaku. Menjadikan(MU) hanya AKU. Namun mentari kecil ini tak cukup besar, tak cukup kuat, tak cukup terang menerangi(MU), menerangi KITA. Tersisa adalah pilihan(MU). Kau tawarkan dan kau lemparkan pula. Tidakkah ini bukan bulutangkis?

Mungkinkah ia kembali menyapaku dan menyalamiku lagi?
Biru. Cinta. Lenyap. LIRIH....
seorang yang pergi



mungkin belum terbiasa saja dengan kebaruan ini
apakah akan memberi arti sedikit kenangan itu? tentulah aku bukan lagi penikmat kesedihan, namun hanya akan menjadi pengagum, ahhh pesakitan pun kadang bisa berpikir logis

entah....
kecewa, pilu, khianat, perih, senyum, jujur, cinta (dua kata terakhirini) akan selalu muncul dalam otakku, muncul untuk dia, yang sungguh aku tak bisa mencecarnya. Tak mungkin pula aku menghardiknya, ia terlampau baik untuk itu, namun sungguh penghujam sejati, penghujam kesakitan yang mahir.

berdiri dalam limbung diantara angin dan malam, memejam mengingat malam itu, malam saat kulumat ludahmu dan sekarang kau cerap kembali ludahmu dengan sungguh manis, manis bagimu.

bahkan akupun tak tahu apa yang kaulakukan saat ini, mungkinkah tersenyum atau manatap sendu dengan kerinduan yang menggila

sepekan berlalu kita bersama, melakukan sebuah perjalanan kecil dan berencana melakukan perjalanan panjang bersama, ahhh kau terlampau letih untuk meneruskan perjalanan kita, padahal separuhnya pun belum

kupikir lebih indah jika saat itu kau menolak ajakan perjalananku dan hanya menanyakan perjalananku seorang diri saja melalui pesan-pesanmuu di malam hari, sepertinya akan memberi bentuk lain untuk menggilamu

akupun tak tahu harus menuliskan apa lagi.
sungguh kau tak berkata manis namun ucapanmu memabukkanku
kau memang tak merayu namun penuh rayuan
pun kau tak menggombal, namun kata-katamu penuh cita-cita
dan aku terpedaya

limbung dalam sadar, mati dalam tangis